Saya berjanji akan menyelesaikan tulisan ini sebelum hari
ke-44 berpulangnya abang pertama saya. Celakanya saya jika tidak memenuhi hajat
tersebut. Perkara menulis, saya masih sangat pandir. Masih perlu berguru pada
buku maupun masa lalu. Selebihnya, segala yang pernah saya tulis hanyalah
sebentuk upaya agar yang masih lekat diingat tak menjadi lupa menghebat.
Perihal yang kadung lupa, sudahlah.
Muhammad Yuda Rizki, abang pertama saya. Abang terbaik dari
yang paling baik. Saya tidak pernah menyangka akan menyematkan ‘almarhum’ pada
namanya selekas ini. Saat saya masih begitu ingin dikuatkan, dipercayakan, dan
ditenangkan dalam menghadapi segala macam keseharian. Tetapi ketika sudah pada
waktunya, tak ada pilihan selain merelakan.
Beberapa paragraf ini sengaja saya tulis untuk almarhum.
Bukan apa-apa, saya hanya merasa perlu untuk menulis perihal apa saja yang
mampu saya tulis tentang abang periang itu. Mengingat Bang Riki yang
rupa-rupanya sering membaca blog saya dan melambungkan blog murahan ini pada
beberapa orang temannya. Sayangnya, saya baru mengetahui hal ini setelah Bang
Riki tiada. Jika tidak, saya dengan senang hati ingin melihat wajahnya memerah
karena ketahuan stalking. Dengan senang
hati.
***
Satu setengah tahun lalu, ketika mamak tiba-tiba meninggalkan
kami, sedih memang tak tertahankan, namun ada satu hal yang membuat saya
menjadi adik perempuan yang tegar saat itu, bahwa masih ada dua orang abang
yang melindungi saya melebihi siapapun.
Dan tahun ini, ujian terberat kembali datang. Kehilangan
seorang abang yang penuh tawa dan hangat dengan cara yang tiba-tiba.
Ketidaksangkaan saya yang lain bahwa Tuhan menguji saya dengan cara yang
seperti ini. Dulu, saya hanya pernah melihat musibah serupa ini di
berita-berita televisi atau membacanya sepintas di surat kabar, yang sudah
tentu bukan saya pengalamnya. Lalu, apa yang terjadi sekarang adalah Tuhan
hanya ingin saya naik tingkat dengan ujian yang tak pernah saya duga. Semoga
begitu.
Saya ingat, dulu ketika kami ditinggalkan mamak dengan cara
yang juga tiba-tiba. Kami berempat saling menguatkan. Bang riki merangkul saya
sembari mengingatkan jangan menangis. Kemudian saya menahan tangis demi menjadi
anak sekaligus adik yang tabahnya tiada tanding. Kali ini, ketika bang riki
yang pergi, saya harus mengingatkan diri sendiri untuk tidak menangis. Namun
saya belum mampu.
Siapapun. Tak akan pernah siap untuk kehilangan, apalagi pada
taraf untuk-selamanya.
Terlalu banyak kenangan yang dicipta waktu tentang kami. Hidup
bersama, segala jenis ujian sudah kami cecap. Bagaimana kami saling menguatkan
ketika sama-sama menemui kesulitan dalam hidup. Saling menuduh tetapi pada
banyak waktu malah membela. Saling menertawakan tetapi diam-diam mendengarkan. Saling
mengejek tapi melindungi ketika adiknya diejek orang. Bersikap seolah-olah
tidak peduli namun menyimpan begitu banyak kekhawatiran tentang kami,
adik-adiknya.
Sebagai adik, Bang Riki memang bukan abang yang sempurna. Tetapi
saya percaya bahwa dalam ketidaksempurnaannya, dia selalu berusaha menjadi yang
sebaik-baiknya abang bagi kami. Yang paling saya senangi darinya adalah wajah
yang selalu terlihat tenang dalam segala situasi, padahal saya tahu pasti di
dalam dirinya ada banyak ketidaksanggupan yang ia keluhkan.
Mengingat Bang Riki, adalah ingatan tentang melihatnya mengendarai
sepeda motor pertama kali di halaman rumah saat saya berumur tujuh tahun. Ingatan
tentang kami yang sering berbagi uang jajan saat sekolah dulu. Ingatan tentang
Bang Riki yang sering mengantar saya sekolah sampai pada suatu hari kunci
motornya patah saat mengisi bensin. Kemudian ingatan tentang Bang Riki yang
mengajari saya mengendarai mobil dan tidak jarang memarahi saya ketika lupa menarik
rem tangan. Tentang Bang Riki yang tidak gengsi berteman dengan teman-teman saya.
Tentang Bang Riki yang sebelum mamak meninggal sangat susah untuk dibangunkan
ketika sahur. Tentang Bang Riki yang pada tengah malam mau menjemput saya saat
ada proyek ‘musykil’ dari seorang dosen. Atau Bang Riki yang tiba-tiba menggoreng
telur untuk makan malam teman saya ketika mereka menginap di rumah. Dan masih
banyak memori tentangnya yang tak habis saya tulis.
Saya masih hidup dengan segenap ingatan itu. Atas nama
menjalani hidup dengan damai dan menjadi manusia yang berbahagia, saya tidak
akan berharap untuk tidak lagi diberikan ujian. Sebab saya percaya pada apa
yang direncanakan Tuhan atas hidup saya. Saya hanya memohon agar selalu
diberikan ketabahan yang lebih atas setiap ujian, termasuk kehilangan lagi
nantinya.
2 May 2015