Sabtu, 14 Maret 2020

ruang baru

Dalam hidup, manusia cenderung memilih mencintai atau membenci sesuatu karena pengalaman tertentu yang ia alami. Sederhana, pengalaman baik untuk hal yang disenangi, yang buruk untuk perkara yang dibenci. Sebagaimana saya memilih laut sebagai tempat paling sesuai untuk menyembuhkan diri, dengan segala pertimbangan, pengalaman, pelajaran, dan filosofinya.

Laut; pasir, karang, debur ombak, garis pantai.


Saya tidak punya kenangan yang cukup banyak dengan laut, dengan pantai. Belum cukup untuk disebut kenangan sebenarnya. Karena saya hanya menjenguk laut ketika saya merasa butuh menyembuhkan diri sendiri. Tidak ada yang perlu diikat dan dikenang dari ritual menyembuhkan diri sendiri, bukan? Yang ada hanya melepas ikatan, meninggalkannya di bibir pantai, digulung ombak, dan hilang.

Beberapa waktu lalu, saya akhirnya punya pasokan memori baik dengan pantai. Kamu ada di tengah-tengah kami. Di paruh waktu kunjung pantai yang tidak lazim, siang dengan langit yang terlalu terik, kamu secara resmi menempati satu ruang baru di dalam sini; tempat pulang yang selalu saya cari, tempat baru untuk menyembuhkan diri. 



November,
ditulis dengan rindu yang meluap pada pukul dua dini hari. 

Rabu, 19 Agustus 2015

Sop dan Es Teler

Saya sudah empat kali mengubah kalimat yang akan menjadi pembuka tulisan ini. Saya nyaris selalu payah dalam hal memulai sesuatu, termasuk menulis, dan mengingat kalau boleh ditambahi. Dan jadilah tulisan ini diprakatai informasi yang tidak esensial. Harap maklum.

Beberapa tahun ini adalah tahun yang amat sengit. Dua tahun ini membuat saya berserah habis-habisan atas apa yang sudah dan akan ditakdirkan Tuhan atas hidup saya. Ada banyak hal tak terduga yang terjadi. Setiap kali bangun tidur dan mendapati diri masih bernafas, saya semakin disadarkan bahwa hidup bisa saja menjadi lebih keras dari kemarin. Namun bagaimanapun mahirnya kita menangkap isyarat hidup, tak ada yang mampu menerka perihal rencana Tuhan, bukan?

Saya sudah dipertemukan lagi dengan ramadhan tahun ini. Rasanya baru kemarin ramadhan tahun lalu itu datang saat kami masih tinggal berempat bersama almarhum abang pertama saya. Dan kemarinnya lagi ramadhan dua tahun lalu, sewaktu kami berempat masih bersama almarhumah mamak. Kami berlima menjalani puasa bersama-sama, dengan sederhana dan sejumput kebahagiaan.

Saya masih sangat ingat, awal ramadhan dua tahun lalu mamak sedang kurang sehat, namun beliau masih membuatkan sop untuk kami di hari meugang. Mamak seperti takut kalau kami tak bisa merasakan masakannya sehari saja. Apalagi hari ketika banyak onggokan daging merah segar berjajar di tepi jalan, bertambahlah ketakutannya. Mungkin mamak khawatir tidak bisa menjadi ibu yang hebat bagi kami. Mungkin juga mamak belum tahu kalau dari kandungan sampai kapanpun, beliau adalah satu-satunya perempuan yang kemampuannya untuk memahami belum mampu kami tandingi. Dan perayaan seperti ini membuat rindu saya menguat.

Ingatan saya juga masih sangat segar tentang abang pertama saya, Bang Riki. Menjelang buka puasa, satu gelas es teler sudah duduk manis di meja makan. Gelas tersebut adalah miliknya seorang. Selalu saja ada sisa es teler yang ia simpan di kulkas untuk persiapan setelah tarawih. Es teler menjadi menu favorit beliau untuk berbuka. Sepertinya, es teler satu-satunya yang mampu membuat Bang Riki jatuh hati sampai tak ada celah untuk perasaan jemu. Saya juga rindu abang yang kalem itu. Selalu dan sangat.

Sop dan es teler hanya sebentuk entitas yang biasa saja namun punya pangkal cerita yang cukup efektif membuat mata saya sembab lalu pipi dihujani airnya. Dan seketika itu, sop dan es teler menjadikan saya gadis yang melankolis sekaligus kian religius. Rindu yang datang bertubi-tubi membuat saya mengirim doa berkali-kali. Berharap doa dapat menyampaikan rindu saya yang amat sangat pada dua orang terkasih ini. Doa, satu-satunya yang paling masuk akal bagi siapapun dalam rangka mengatasi rindu pada mereka yang lebih dulu tiada.

Alfatihah.

snr

Rabu, 13 Mei 2015

Menjadi Ganjil

Saya berjanji akan menyelesaikan tulisan ini sebelum hari ke-44 berpulangnya abang pertama saya. Celakanya saya jika tidak memenuhi hajat tersebut. Perkara menulis, saya masih sangat pandir. Masih perlu berguru pada buku maupun masa lalu. Selebihnya, segala yang pernah saya tulis hanyalah sebentuk upaya agar yang masih lekat diingat tak menjadi lupa menghebat. Perihal yang kadung lupa, sudahlah.

Muhammad Yuda Rizki, abang pertama saya. Abang terbaik dari yang paling baik. Saya tidak pernah menyangka akan menyematkan ‘almarhum’ pada namanya selekas ini. Saat saya masih begitu ingin dikuatkan, dipercayakan, dan ditenangkan dalam menghadapi segala macam keseharian. Tetapi ketika sudah pada waktunya, tak ada pilihan selain merelakan.

Beberapa paragraf ini sengaja saya tulis untuk almarhum. Bukan apa-apa, saya hanya merasa perlu untuk menulis perihal apa saja yang mampu saya tulis tentang abang periang itu. Mengingat Bang Riki yang rupa-rupanya sering membaca blog saya dan melambungkan blog murahan ini pada beberapa orang temannya. Sayangnya, saya baru mengetahui hal ini setelah Bang Riki tiada. Jika tidak, saya dengan senang hati ingin melihat wajahnya memerah karena ketahuan stalking. Dengan senang hati.

***
Satu setengah tahun lalu, ketika mamak tiba-tiba meninggalkan kami, sedih memang tak tertahankan, namun ada satu hal yang membuat saya menjadi adik perempuan yang tegar saat itu, bahwa masih ada dua orang abang yang melindungi saya melebihi siapapun.

Dan tahun ini, ujian terberat kembali datang. Kehilangan seorang abang yang penuh tawa dan hangat dengan cara yang tiba-tiba. Ketidaksangkaan saya yang lain bahwa Tuhan menguji saya dengan cara yang seperti ini. Dulu, saya hanya pernah melihat musibah serupa ini di berita-berita televisi atau membacanya sepintas di surat kabar, yang sudah tentu bukan saya pengalamnya. Lalu, apa yang terjadi sekarang adalah Tuhan hanya ingin saya naik tingkat dengan ujian yang tak pernah saya duga. Semoga begitu.

Saya ingat, dulu ketika kami ditinggalkan mamak dengan cara yang juga tiba-tiba. Kami berempat saling menguatkan. Bang riki merangkul saya sembari mengingatkan jangan menangis. Kemudian saya menahan tangis demi menjadi anak sekaligus adik yang tabahnya tiada tanding. Kali ini, ketika bang riki yang pergi, saya harus mengingatkan diri sendiri untuk tidak menangis. Namun saya belum mampu.

Siapapun. Tak akan pernah siap untuk kehilangan, apalagi pada taraf untuk-selamanya.

Terlalu banyak kenangan yang dicipta waktu tentang kami. Hidup bersama, segala jenis ujian sudah kami cecap. Bagaimana kami saling menguatkan ketika sama-sama menemui kesulitan dalam hidup. Saling menuduh tetapi pada banyak waktu malah membela. Saling menertawakan tetapi diam-diam mendengarkan. Saling mengejek tapi melindungi ketika adiknya diejek orang. Bersikap seolah-olah tidak peduli namun menyimpan begitu banyak kekhawatiran tentang kami, adik-adiknya.

Sebagai adik, Bang Riki memang bukan abang yang sempurna. Tetapi saya percaya bahwa dalam ketidaksempurnaannya, dia selalu berusaha menjadi yang sebaik-baiknya abang bagi kami. Yang paling saya senangi darinya adalah wajah yang selalu terlihat tenang dalam segala situasi, padahal saya tahu pasti di dalam dirinya ada banyak ketidaksanggupan yang ia keluhkan.

Mengingat Bang Riki, adalah ingatan tentang melihatnya mengendarai sepeda motor pertama kali di halaman rumah saat saya berumur tujuh tahun. Ingatan tentang kami yang sering berbagi uang jajan saat sekolah dulu. Ingatan tentang Bang Riki yang sering mengantar saya sekolah sampai pada suatu hari kunci motornya patah saat mengisi bensin. Kemudian ingatan tentang Bang Riki yang mengajari saya mengendarai mobil dan tidak jarang memarahi saya ketika lupa menarik rem tangan. Tentang Bang Riki yang tidak gengsi berteman dengan teman-teman saya. Tentang Bang Riki yang sebelum mamak meninggal sangat susah untuk dibangunkan ketika sahur. Tentang Bang Riki yang pada tengah malam mau menjemput saya saat ada proyek ‘musykil’ dari seorang dosen. Atau Bang Riki yang tiba-tiba menggoreng telur untuk makan malam teman saya ketika mereka menginap di rumah. Dan masih banyak memori tentangnya yang tak habis saya tulis.

Saya masih hidup dengan segenap ingatan itu. Atas nama menjalani hidup dengan damai dan menjadi manusia yang berbahagia, saya tidak akan berharap untuk tidak lagi diberikan ujian. Sebab saya percaya pada apa yang direncanakan Tuhan atas hidup saya. Saya hanya memohon agar selalu diberikan ketabahan yang lebih atas setiap ujian, termasuk kehilangan lagi nantinya.

2 May 2015